Stigma "Anak Nakal" Harus Dihapuskan
01.36
Diposting oleh Achie Lutchuyee
Kasus yang menimpa DDY (9), yang karena iseng menempelkan lebah ke pipi teman perempuannya membuatnya masuk pengadilan, bisa berdampak negatif terhadap tumbuh-kembang pelajar kelas III SD Negeri di Surabaya ini.
Padahal, pada usianya, DDY seharusnya belum bisa dikatakan bertanggungjawab pidana, jika merujuk pada konvensi internasional hak anak (yang menetapkan usia tanggungjawab pidana anak adalah mulai 16 tahun).
Adzkar Ahsinin, staf advokasi Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), mengatakan kasus ringan anak yang dibawa ke pengadilan bisa mempengaruhi kejiwaan dan tumbuh-kembang anak.
"Apalagi jika stigma sosial dilabelkan kepadanya, misalkan 'anak nakal' karena pernah berurusan dengan hukum terlebih penjara," papar Adzkar kepada Kompas Female.
Menjadi keprihatian ketika hampir semua kasus anak (dalam pantauan YPHA), masuk ke pengadilan. Padahal seharusnya kasus bisa dipilih sesuai kategori ringan, sedang, berat, dan bisa diselesaikan dengan mediasi maupun pembinaan.
Anak yang masuk ranah hukum karena tindakan yang tidak sepenuhnya dari dalam dirinya (artinya ada pengaruh lain atas tindakannya), memunculkan labeling yang negatif buat anak.
Pada akhirnya, anak akan merasa tidak diterima oleh masyarakat, sulit bersosialisasi dengan teman sebaya maupun orang lain di sekitarnya, tertutup, merasa salah, dan dipersalahkan. Labeling (terutama yang negatif) menjadi akar masalah atas pembentukan kepribadian anak
semacam ini.
"Stigma 'anak nakal' terhadap anak yang melakukan tindak pidana harus dihapuskan, dan lebih layak dikatakan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum," terang Adzkar.
Hal inilah yang terjadi pada DDY. Perbuatan yang menyeret anak di bawah umur ini ke pengadilan, membuatnya sempat tak masuk sekolah, konsentrasi menurun, nilainya pun anjlok. Kebingungan dan badan serasa meriang pun dialaminya ketika dipanggil menghadiri pengadilan (Kompas, 2/2/2010).
Dukungan dari teman sekolah, guru, dan keluarga lah yang akhirnya menyemangati DDY melewati persidangan, meskipun keputusan hakim akhirnya menyatakan DDY bersalah. Kesadaran serta senyuman DDY dibarengi "tos" dari teman-teman yang mendukungnya sepanjang persidangan pun mengakhiri kasus ini. DDY dikembalikan kepada keluarganya. Akhirnya, pendidikan menjadi solusi dari kasus anak (yang sebaiknya tak dikatakan sebagai "kenakalan anak").
Other Article
- Ada Gempa di Kupang
- 9 Cara Merawat Kulit Saat Hamil
- Nikita Diperkosa lalu Ditinggal di Hutan
- Belanda Negara Indah Penuh Dengan Warna
- Edmond Ilyas Resmi Dicopot
- Perokok Punya IQ Lebih Rendah
- Ajaib, Masjid di Lantai 3 Ramayana Tak Ikut Terbakar
- Berkreasi Bersama Anak
- Musik sebagai Pengiring Bercinta
- Menghadapi Flu dan Gejalanya dengan Cara Mudah
- Perempuan-perempuan Pengusaha Batik Rembang
- Tali Temali di Kaki yang Cantik
- Saatnya Pamerkan Kaki Cantik Anda!
- Membersihkan Telinga, Mata, dan Hidung Bayi
- Bilasan Santan Bisa Menghilangkan Ketombe
- Ayam Panggang Lada Hitam
- Atasi Nyeri PMS dengan Jamu Rasa Jeruk
- Menghilangkan Lipatan Bekas Bantal pada Wajah
- Forever Jewellery dan Perlini's Silver Gelar Diskon
- Balado Telur Mata Sapi
- Masaklah untuk Sekali Makan Saja
- Tips Penggunaan dan Perawatan Handuk
- 32 Rahasia Israel yang tidak Dipublikasikan
- fakta - fakta tentang komputer
- Best Indonesia president intimate photos
- Berkreasi Bersama Anak
- Membersihkan Telinga, Mata, dan Hidung Bayi
- Perlukah Anak-anak Tidur Siang?
- Mengulang-ulang Bikin Anak Pintar
- Trik Mengenalkan Makanan Padat pada Bayi
- Mengajarkan Anak Mengelola Uangnya
- Hadirkan Menu Restoran di Rumah
- Trik Memancing Selera Makan Anak
- Trik Jadi Ibu yang Lebih Santai
- Melahirkan Lebih Mudah dengan Cara Jongkok
- Tambal Gigi Warna-Warni
- Cara Cepat Mengatasi Morning Sickness
- Resiko Hamil bagi Pengidap Diabetes
Posting Komentar