Saat berkunjung ke Kota Bogor, jangan lupa mencicipi gurihnya soto santan yang banyak dijajakan di sana. Makanan ini seolah menjadi makanan khas Kota Hujan. Rasa yang istimewa akan membuat siapapun ketagihan dan ingin kembali mencicipi.

Meski banyak pedagang yang menjual soto santan, tapi ada yang beda dari Soto Santan Mang Djaja yang ada di Jalan Mawar, Menteng, Bogor. Meski bersantan, namun kuahnya sangat encer.

Tempatnya cukup sederhana, hanya menyewa seperempat halaman rumah seorang keturunan Tionghoa. Karena berada persis di pinggir jalan, maka disekelilingnya ditutupi kain panjang agar tak berdebu.

Uniknya lagi, si penjual menyiapkan makanan di bawah. Hanya menggunakan dua meja kecil – bekas pikulan yang tak dipakai. Pengunjung bisa memilih meja pendek yang berhadapan langsung dengan si pedagang atau di meja yang tinggi.

Sebelum duduk, kita diminta terlebih dahulu untuk memilih isi soto yang akan kita santap. Ada dua baskom yang berisi potongan kikil dan daging. Semua itu diambil dari bagian kaki dan kepala sapi. Terkadang juga tersedia babat, hanya saja jumlahnya tidak terlalu banyak.
"Babat cuma kita sediakan pada akhir pekan, Sabtu atau Minggu. Karena tidak semua orang suka dan kurang baik buat kesehatan. Jadi hanya sebagai selingan saja, ini pun karena ada permintaan dari beberapa pelanggan," kata Sakdik, penerus ketiga dari Warung Soto Santan Mang Djaja ini.

Di baskom tersedia bambu dengan panjang kurang lebih 10 cm untuk menusukkan daging dan kikil yang sudah dipilih. Rata-rata pelanggan yang datang mengambil antara tiga hingga tujuh potong dalam setiap sajian sotonya.

Soto ini memang tidak dijual per porsi, tetapi per potong. Sepotongnya Rp 3.500. Kikil tersebut diletakkan di dalam piring sehingga Sakdik tinggal memotong- memotong jadi lebih kecil. Lantas diberikan taburan daun seledri dan bawang goreng, kemudian disiram dengan kuah santan yang tidak terlalu kental. Sedangkan nasi putihnya disajikan di piring terpisah.

Taburan emping melinjo atau emping jengkol juga akan ditaburkan. Harga sebungkus emping Rp 2.000. Tapi sebelumnya Sakdik akan menanyakan pelanggan, apakah ingin memakai emping tersebut. "Karena ada pelanggan yang memang tidak suka atau memang tidak boleh makan emping lagi dengan alasan kesehatan. Makanya saya selalu tanyakan dulu sebelum menaburkannya," ujar ayah tiga anak ini.

Perlu diketahui juga, kuah santan soto ini tidak menggunakan bumbu penyedap rasa. Air kaldu rebusan dari kaki sapi sudah membuat kuahnya begitu gurih. Tapi buat mereka yang memang menyukai rasa asin, sebaiknya menambah garam sendiri agar kuah makin terasa sedap.
Sebagai penyempurna, bisa ditambah cuka atau jeruk limau. Tapi semenjak dahulu, para pelanggangan lama Soto Mang Djaja ini hanya suka dengan tambahan cuka.

Warung ini hanya buka pada pagi hari, mulai pukul 06.00-10.00, lewat jam itu, bisa-bisa tak kebagian. Tapi itu pun tergantung situasi, terkadang kalau sedang sepi hingga pukul 12.00 pun masih buka.

Sakdik mulai memasak kepala dan kaki sejak pukul 14.00. Untuk mendapatkan kikil yang tidak berbau, dibutuhkan proses pencucian dan pemasakan yang cukup lama. Karena tidak terlalu percaya pada pedagang daging tersebut, Sakdik lebih memilih untuk membersihkan sendiri bagian kepala dan kaki. Pencuciannya bisa sampai tiga kali. Setelah itu barulah direbus kurang lebih tiga jam. Sedangkan untuk kuahnya dibuat dadakan sebelum subuh.

Setiap hari, warung soto ini membutuhkan 12 kg daging dan kikil bagian kepala, 4 kg bagian kulit dan empat kaki sapi. Kecuali untuk akhir pekan kebutuhannya meningkat menjadi 17 kg.
Sedangkan untuk nasinya diperlukan 17-18 liter per hari dan kelapa untuk santan 14-15 butir. Kelapa yang digunakan adalah jenis tasik yang lebih wangi. Ketika kuah soto sudah matang, kuahnya masih mengental, beberapa pelanggan ada yang suka dengan kuah kental. Tetapi lama kelamaan menjadi encer dengan sendirinya.

Tiga generasi
Soto Santan H Djaja sudah ada sejak tahun 1945, saat itu Saiman (almarhum, kakek Sakdik) berjualan soto dengan berkeliling, lalu mangkal di dekat SMA 5 Bogor. Setelah itu tahun 1965 digantikan oleh sang anak, Djaja, hingga sekarang diteruskan kepada anak ketiganya, Sakdik.

"Bapak terkadang masih suka datang ke warung tapi cuma menunggu saja, maklum, sudah tua, tapi Alhamdulillah masih sehat," tutur Sakdik anak ketiga dari tujuh bersaudara. Sakdik baru diajarkan memasak soto selepas SMA. Namun tidak langsung berhasil. Ia pernah dikomplain, ketika mencoba membuat bumbu, oleh pelanggan karena rasa yang berbeda.

"Alhamdulillah sekarang sudah bisa dan rasanya tetap sama seperti yang pernah dibuat kakek. Bahkan pelanggan dari zaman kakek yang dulunya masih anak-anak sampai sudah punya anak lagi juga masih suka datang ke sini," imbuhnya.

Salah satu pelanggan, Sardiman (60), sudah langganan Soto Mang Djaja ini sejak masih muda. Kebetulan ia memang penyuka soto dan semua jenis soto yang dijajakan di Bogor sudah dicoba. "Setiap soto punya kekhasan sendiri, tetapi kalau saya kangen dan ingin makan soto santan selalu balik ke sini," ujarnya. Para pelanggan soto ini tidak saja datang dari Bogor dan sekitarnya tetapi juga Jakarta, Bekasi hingga Bandung.

Tak jarang pelanggan yang datang membeli soto untuk dibawa pulang, meski sudah makan di tempat. Namun Sakdik tidak menerima pesanan dalam jumlah besar, seperti untuk pesta atau arisan. Alasannya, cukup kewalahan untuk melayani pelanggan sehari-hari.

Di sela-sela kesibukan meracik soto, sesekali Sakdik bergurau dengan para pelanggan. Menurutnya, hal itu merupakan satu-satunya obat untuk menghalau kelelahan. Bayangkan saja dalam waktu empat jam, tangan Sakdik tidak henti memotong kikil dan menyiapkan soto. Beruntung, ia dibantu adiknya yang bertugas mengantarkan hidangan tersebu.



Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini

Other Article



visit the following website islamic.net Make Smart Berita Bola