by thequeenoftheword

Aku tak menyangka bertemu kamu, dia dan mereka di sini. Di negeri impianku yang telah lama bercokol di kepalaku selama bertahun-tahun. Aku merasa sendirian. Tak bisa bicara. Meskipun masih bisa mendengar. Sekalipun hanya mendengar suara-suara asing yang mematahkan semangat. Aku cuma bisa menatap wajah-wajah kaku, berbalut pakaian modis musim dingin dengan model rambut warna-warni dengan takjub. Tidak ada yang tidak cantik. Meskipun aku bingung dengan kecantikan yang seperti apa hingga seorang pria terkagum dan berdiri mematung. Karena sesungguhnya yang namanya cantik cuma debu. Tidak lebih! Dan yang tampan cuma tanah liat. Tidak lebih!

Jadi di mana yang sempurna? Tidak ada! Semuanya yang tampak di permukaan cuma pulasan dan warna-warni yang mempermak kita untuk menjadi lebih baik atau lebih tirus. Wanita-wanita yang takut gemuk, takut jelek, takut hitam dan takut dicap “tak terawat” menjejali tiap sudut jalan di kota besar ini dengan kaca dan lipstik di tangan mereka. Mereka sesekali merapikan dandanannya sebelum kembali bekerja. Sangat kontras dengan wanita-wanita dan para pria yang berada di restoran atau rumah makan. Mereka tampak lebih apa adanya dengan wajah kuyu karena seharian bekerja. Bau badan mereka adalah bau harum makanan yang keluar dari panci-panci dan wajan-wajan besar di dapur. Bukan wangi parfum!

Lelehan keringat yang meluncur di dahi mereka menandakan kerja keras mereka hari itu. Aku mendengar mereka berteriak di jalan, mempromosikan makanan di restorannya dengan celemek warna-warni. Bau makanan semerbak ke mana-mana, menguasai udara seperti mencekikku. Aku tak bisa membedakan mana bau babi panggang, ayam goreng, makanan Thailand atau makanan Jepang. Semua bau sepertinya sama! Mana bisa aku makan? Aku kelaparan tetapi malas makan! Aku cuma bisa mengeluarkan sebaris kalimat setelah sekian jam mematung di sana.
“Bawa aku ke Mc Donald!”

Sejam kemudian aku sudah memakan jatah makan malamku hari kesekian di Taiwan. Sekantung kecil kentang goreng, fille’ o fish, coca-cola yang sama sekali tak ada rasa Taiwannya! Sama saja seperti paket fille’ o fish yang aku beli di outlet Mc Donald di jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Tidak ada bedanya! Aku tertawa kecil.

Aku kembali mengawasi jalanan sempit yang penuh dengan neon box bertuliskan nama-nama restoran dalam bahasa mandarin. Menikmati orang-orang yang bersepeda di trotoar, berebut tempat dengan pejalan kaki. Taiwan benar-benar unik! Hanya kurang menarik! Aku tidak melihat orang-orang dengan baju adat yang membungkuk sopan kepada tamunya seperti di Jepang. Sepanjang mataku memandang aku cuma melihat Starbucks, Starbucks, Starbucks! Gerai khasnya nyaris ada di tiap blok! Aku menepuk kepalaku sambil bergumam.
“Bangun, Ne! Inilah wajah kota moderen hari ini!”

Aku menelan ludah. Oh ya? Moderen apa sama dengan tidak tahu adat? Lihat bagaimana mereka berciuman di sembarang tempat! Tak tahu malu! Aku bahkan tidak tahu bedanya pelacur dengan bukan di sana! Apakah itu yang membuat Taipei layak disebut kota besar? Kalau memang demikian…..betapa dusunnya aku! Aku nyaris muntah melihat sepasang anak muda yang tepat berada di belakangku di sebuah kedai minuman. Mereka berdua berciuman lama sekali. Aku pikir mereka berdua keterlaluan!

Ternyata….pasangan di belakangnya pun melakukan hal yang sama bahkan lebih parah. Dan semua orang melalui jalan itu tanpa bergeming. Tidak ada ekspresi marah, shock atau kaget melihat adegan tersebut. Aku tersenyum masam. Aku mengarahkan mataku ke arah bartender di hadapanku. Ia terlalu lama mencampur minuman sehingga antrian jadi sangat panjang. Aku tidak tahu apakah itu karena minumannya dikenal sangat enak sehingga orang-orang antri atau justru karena pengunjungnya tahu betapa lamanya menunggu pesanan minuman di sana sehingga mereka bisa berciuman selama mungkin di depan kedai itu! Entahlah!

Yang pasti, aku merasa ini bukan duniaku. Aku terasing. Tak bisa bicara. Tak bisa ke mana-mana. Kakiku melangkah tapi jiwaku seperti duduk karena kelelahan. Aku seperti robot yang berjalan tanpa jiwa. Aku berhenti di sebuah toko buku yang hampir tutup. Aku berkeliling sebentar sebelum akhirnya keluar karena memang jam kerjanya sudah selesai. Beberapa penjaga tokonya melepas seragam coklatnya yang seperti celemek melebihi batas dengkul dan mulai berbenah.

“Kita tunggu mereka di luar yuk, Ne.”
Itu suara Yunni. Aku mengangguk. Aku menatap jalanan yang lampu-lampunya mulai dipadamkan.
“Kamu tahu tidak, Ne. Jauh sebelum aku tahu kamu akan ke sini….aku mimpi kamu.”
Aku tertegun karena tak menyangka ia akan berkata demikian.
“Oh ya? Mimpi apa?”
“Aku mimpi ketemu kamu dan kenalan dengan kamu. Aku pikir Agustus tahun lalu kamu ikut Ko Philip ke Taiwan. Ternyata….tidak. Jadi, aku pikir itu cuma mimpi aja. Eh, kamu baru ke Taiwan tahun ini. Aku senang banget lho waktu tahu kalau kamu ikut ke sini,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Tiba-tiba saja kelelahanku hilang. Aku bergairah. Aku merasa Taiwan adalah negara yang menarik. Aku tersanjung sekali mendengar kata-katanya itu. Ia bermimpi ketemu aku? Orang biasa ini? Untuk apa? Untuk mendapatkan doa berkatku? Ah, Yunni! Ada-ada saja!

“Lho, bener! Aku tidak bohong, Ne! Karena itu aku senang sekali waktu diberitahu kalau kamu akan datang ke sini. Sayang kamu tidak datang tanggal 31 Januari kemarin. Laose sudah menyediakan tempat di rumahnya untuk kamu. Kita sudah merancang acara jalan-jalan dengan kamu…..,” jelasnya buru-buru karena tahu aku tak percaya.
Aku langsung terdiam. Kalian memperlakukan aku dengan sangat baik tetapi aku terlambat menyadarinya. Aku menceritakan nubuatan Pak Benaiah kepadanya.
“Kamu tidak ada di nubuatan itu secara spesifik, Yunni. Tetapi kamu ada di hatiku…”
Ia tersenyum lebar dan memelukku erat-erat.
“Aku juga. Aku juga, Ne.”

Ah, indahnya persahabatan ini. Sayangnya cuma 10 hari! Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak mau menunjukkan kesedihanku kepadanya. Aku mulai tengelam dalam lamunan ketika aku dikagetkan oleh tarikan tangan Yunni.
“Ayo, Ne! Kita ke arah sana, yuk! Itu mereka sudah di sana!”
Aku mengangguk lemah. Aku mengikuti langkahnya sementara pikiranku melayang ke mana-mana. Aku melewati keramaian pasar malam di Taipei dengan pikiran yang tidak fokus. Aku letih tetapi tidak diberi pilihan untuk berhenti. Aku teringat dengan permintaan oleh-oleh dari teman-teman di Surabaya yang jumlahnya sudah mereka tentukan.
“Minimal Rp. 150.000 untuk aku ya, Ne! Jangan lupa lho!”

Aku bergidik. Minimal? Itu angka minimal untuk satu orang! Kalau aku punya 10 teman ‘kan jadi angka fantastis! Aku tertawa kecil. Menggelikan! Persahabatan yang benar-benar menggelikan! Atau memang aku yang bodoh karena di antara kami bertiga hanya aku yang paling enggan minta sesuatu kepada orang lain! Aku tidak pernah meminta apapun kepada siapapun, bahkan dengan alasan yang paling rohani sekalipun! Tidak pernah! Aku tidak mau merepotkan orang yang akan bepergian dengan membelanjakan jutaan uangnya hanya untuk membelikan cincin, baju, jas, kalung, kue atau apapun….kecuali kalau ia membelikan novel “Inferno” karya Dante Alleghieri.

Tetapi….teori itu dipatahkan oleh Anita, Mei en, Laose, Scotty, Yunni dan orang-orang POKI. Aku kedinginan Sabtu sore itu. Aku berdiri menghadap bendungan besar yang terhampar di depan kamar Hotel “Bitan” sambil menunggu jemputan. Udara dingin yang menusuk tulang sempat membuat perutku kram. Aku nyaris memutuskan untuk tidak ikut retreat TKW yang dilayani oleh Ko Philip malam itu. Tetapi…aku juga malas ditinggal sendirian di kamar hotel yang menyediakan acara televisi yang “benar-benar tidak jelas” dan menyediakan perangkat mandi (shower cup, tooth brush, comb, Shaver, dll.) dengan kemasan menggelikan!

Jadi aku senang ketika Anita dan Yunni meneleponku, hanya untuk bertanya apakah sudah siap berangkat.
“Nit, aku lapar banget. Aku mau Pop Mie.”
“Oke. Oke, kita akan ke Supermarket sekarang, ya. Kita akan belikan kalian roti dan Pop Mie. Sabar ya. Sebentar lagi kita akan ke sana,” kata Anita dari seberang sana.
Setelah itu ia menutup telepon. Aku pun menutup telepon hotel tersebut dan mengucapkan Xie-Xie kepada seorang gadis putih cantik berleher jenjang dengan rambut lurus sepunggung. Riasan wajahnya serasi dengan baju seragam hotel yang ia kenakan. Sayangnya ia tidak bisa bahasa Inggris dan aku tidak bisa bahasa mandarin.

Maka terjadilah kebisuan yang cukup panjang selama aku menunggu Ko Philip turun dari lantai 11. Tigapuluh menit kemudian rombongan POKI datang. Mereka mengeluarkan makanan dari kantung plastik belanjaan yang mereka bawa dan menyodorkan sepotong roti keju kepadaku. Aku memakannya seperti lama sekali tidak pernah makan roti! Lahap sekali!
Sakit perutku ditambah rasa dingin karena berada di area pegunungan, semakin membuatku enggan pergi. Berkali-kali aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku dan berharap kehangatannya terasa…nyatanya panasnya yang tak seberapa dikalahkan oleh tiupan angin dan hujan yang turun malam itu. Upf! Aku baru bisa mengalahkan rasa sakitnya ketika melihat pemandangan indah yang terhampar di depanku. Aku takjub!

Hamparan hijau dedaunan berbaur dengan warna kuning kecoklatan menyatu dengan gazebo, sungai kecil berbatu besar yang airnya dangkal serta gunung tinggi di samping kiriku. Di hadapanku berdiri sebuah rumah yang terbuat dari papan kayu bercat putih.
Di samping kanannya terdapat sebuah bangsal tanpa dinding, berdiri dengan bantuan beberapa tiang penyangga saja. Di atasnya terpancang sebuah papan buram dengan tulisan mandarin. Aku tidak tahu apa artinya!

Aku makan semangkuk Pop Mie buatan Korea di salah satu bangkunya. Rasa hangat menjalar ke seluruh wajahku ketika aku meniup panas kuahnya yang berbau khas. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Mendadak aku teringat dengan makanan instan yang Yunni berikan kepadaku pagi tadi. Makanan sejenis lemper yang kulit luarnya seperti ketan putih atau beras yang dilapisi rumput laut dan berisi abon daging ikan tuna.
“Aku sudah kenyang. Mungkin Ko Philip mau memakannya, jadi lebih baik aku berikan kepadanya saja,” pikirku.
Aku menyimpannya di tas kamera videoku. Aku mulai melewatkan sesi-sesinya dengan mata setengah mengantuk. Lelah sekali. Sesekali aku berusaha membunuh kantuk dengan berkeliling mengambil gambar dan minum segelas kopi.

Ah, kopi….jadi kangen dengan Torabika Capuccinoku yang masih tersisa 2 sachet di kamar. Hm, seandainya aku bisa membawanya ke tempat ini. Sayang sekali….karena terburu-buru aku lupa membawanya. Aku masih teringat kepada percakapan awalku dengan Yunni, perjumpaanku dengan Anita di bandara beberapa hari lalu dan jalan-jalan bersama Scotty dan Mei En. Tak terasa sudah 9 hari bersama. Minggu besok adalah hari terakhirku bersama mereka.

Mengapa tiap pertemuan pasti diselingi perpisahan? Hidup memang penuh dengan misteri yang tak terpecahkan! Akhirnya sesi Ko Philip selesai juga. Kami berdua pulang ke hotel diantar orang-orang POKI. Aku menyerahkan “lemper Taiwan” yang kusimpan tadi kepada Ko Philip. Aku pikir pasti dia lebih lapar dari aku. Awalnya Ko Philip menolak makanan tersebut, tetapi akhirnya aku berhasil memaksanya untuk menerimanya. Di tengah perjalanan tiba-tiba Ko Philip mengatakan sesuatu yang membuatku terpana.

“Kamu beruntung, Ne. Kamu datang pada saat udara di sini sudah tidak terlalu dingin. Padahal waktu 31 Januari kemarin, di sini dingin sekali,” katanya sambil tersenyum.
Semua yang di dalam mobil itu mengiyakan. Aku terdiam. Oh ya? Wah! Aku jadi terharu. Untuk urusan yang paling tidak penting pun Tuhan mau mendengar dan menjawabnya…apalagi kalau hal itu penting bagiNya dan aku.


Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini

Other Article



visit the following website islamic.net Make Smart Berita Bola