Gadis Berjilbab Itu
07.08
Diposting oleh Melany Christy
Aneh sekali mimpi itu, ya. Kita hanya bisa menebak-nebak apakah yang hendak diberitakannya – kabar dari masa kelakkah yang dibawanya, atau hanya sekadar suara-suara dari ingatan yang diambil begitu saja, acak, dan tak bertujuan. Aku tak tahu. Tapi, kadang aku berpikir seperti ini. Mimpi itu seperti maling. Munculnya perlahan-lahan, langkahnya mengendap-endap, seringkali menengok ke kiri dan ke kanan, dan memakai jubah sewarna malam.
ia sebenarnya tengah menunggu waktu yang tepat untuk pergi ke gudang pikiran: tempat berdebu di mana keinginan-keinginan yang tak sampai dan ketakutan-ketakutan yang telah kita simpan jauh-jauh dan kita gembok, teronggok begitu saja. Aku sering heran sendiri bagaimana ia bisa menemukan kuncinya. Entahlah. Tapi, ia selalu saja bisa menemukannya dan membuka gudang itu dengan mudah. Ia jadi seperti anak kecil bila telah berada di dalam: menemukan banyak mainan baru, mencoba satu persatu, hingga akhirnya menemukan mainan yang menurutnya cocok, lalu membawanya keluar.
***
Aku akhirnya menikah. Kukira aku tidak akan pernah merasakan pengalaman itu. Yah, seperti biasa, selalu banyak kekhawatiran, tentunya, bagi lelaki yang telah cukup umur. Konyol memang, memikirkan hal yang bukan-bukan. Jangan-jangan maut keburu menjemput, jangan-jangan tak akan pernah menemukan pasangan yang tepat, jangan-jangan tak bisa menafkahi, jangan-jangan.. Terlalu banyak ‘jangan-jangan,’ ya. Tapi seperti kata orang, kekhawatiran selalu bisa memunculkan ketakutan-ketakutan yang berlebihan, yang biasanya hampir tak pernah benar-benar terjadi. Dan kalau pun terjadi, katanya, tenang saja, tidak semenakutkan yang dibayangkan, kok. Aku sering tak percaya pada perkataan semacam itu. Kupikir itu hanya kata-kata kosong saja untuk menenangkan hati. Tapi, sudahlah. Itu dulu. Aku mempercayainya sekarang. Buktinya, aku menikah. Dan semuanya berjalan lancar.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Aku baru saja menyadarinya. Sepengetahuanku, setiap mempelai haruslah berada di depan menjadi pusat perhatian, dengan pakaian yang menyolok, dengan senyum yang harus terus-menerus menggantung, dengan iringan orang-orang yang mengantri memberi selamat. Tapi aku? Di mana aku berdiri? Di tengah ruangan, dekat pilar besar yang tak bisa kupeluk. Bagaimana pakaianku? Aku memakai kemeja flannel yang kubiarkan tak dikancingkan, memperlihatkan kaos putih yang jadi abu-abu, lusuh. Dan celanaku? Mengerikan: jins belel yang sobek di kedua lutut, seperti sepasang mata yang tengah mengintip.
Dadaku ribut. Pikiranku lalu-lalang.
Apa yang sebenarnya tengah kulakukan di pesta perkawinanku? Bagaimana mungkin aku memakai pakaian seperti ini? Apa yang… Pikiranku mendadak macet. Perlahan, kesadaranku yang lain, yang tadi mungkin tengah bersembunyi, sekarang merangkak naik mendaki kepalaku dan menyodorkan pertanyaan yang menakutkan: mungkinkah ini bukan pesta pernikahanku?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kutata pikiranku. Dari mana tadi aku tahu bahwa aku tengah menikah? Aku mengingat-ingat: mempelai perempuan! Maka, kulihat mempelai perempuan di ujung sana, di depan, menjadi pusat perhatian dan sedang sibuk melayani orang-orang yang memberi selamat. Tak salah lagi. Gadis Berjilbab itu. Gadis yang setiap kali kami berpapasan hanya bisa menatap mataku sejenak untuk kemudian menunduk atau mengalihkan tatapan itu ke arah lain. Gadis yang sungguh menaati Tuhannya, pikirku. Gadis lugu, yang meskipun telah berusaha merumahkan perasaannya padaku demi Tuhannya dengan tatapan singkatnya, namun selalu saja gagal, karena matanya seringkali berkhianat pada hatinya yang menginginkan diriku; kutemukan jejak senyum dimatanya kala menatapku.
Kulihat lagi Gadis Berjilbab itu. Benar, memang dia. Tapi dari mana aku tahu bahwa aku yang menikah? Tentu saja aku tahu, batinku, karena Gadis Berjilbab itu pasti menikah dengan… Aku tersentak. Lalu kulihat sosok yang tadi kuabaikan begitu saja yang berdiri disamping gadis berjilbab itu. Tenggorokanku tersumbat. Siapa lelaki itu?
Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri lagi. Kuperhatikan lelaki itu baik-baik. Dari jarak lima puluh meter kulihat tubuhnya tegap dan tinggi. Kurasa aku tak setegap dan setinggi itu. Tapi aku tidak yakin karena penglihatanku sesekali terhalang oleh tamu-tamu yang lalu-lalang. Aku mencoba mendekat hingga jarak dua puluh meter. Sekarang aku melihatnya dengan jelas.
Aku berpikir, mungkinkah itu aku setelah beberapa tahun: setahun, dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun kemudian. Mungkinkah aku berubah sebanyak itu. Tapi tak mungkin, bukan? Bila kita telah berumur pertengahan 20-an, kupikir perkembangan fisik kita telah sempurna. Dan kalau pun berubah, bukan grafik semakin meninggi yang terjadi, melainkan menurun.
Kuperhatikan lelaki itu lekat-lekat sekali lagi. Itu bukan rambutku. Rambut lelaki itu ikal dan tebal, sedangkan rambutku lurus dan tipis. Itu juga bukan telingaku, kerena daun telingaku sedikit runcing seperti elf dalam cerita Tolkien, sedang daun telinga lelaki itu tidak. Selama aku mencocok-cocokkan diriku dan lelaki itu, aku hanya bergumam tak percaya: itu bukan mataku, itu bukan bibirku, itu bukan hidungku, itu bukan… itu bukan…
***
Sepertinya ia telah puas bermain. Maka, seperti biasa ia akan mengembalikan dan menyimpan mainannya dengan hati-hati pada tempatnya semula. Ia berusaha tak meninggalkan jejak apapun. Perbuatannya itulah yang sering menyebabkan kita tak bisa mengingat mimpi semalam. Gambar-gambar tak pernah jelas. Adegan-adegan jungkir-balik tak nyambung. Dan di pagi hari, sewaktu kita membuka mata, yang kita dapatkan hanya remah yang terasa rapuh. Mungkin kita berusaha mengingatnya, mungkin kita melupakannya begitu saja. Kita tak ambil pusing dan hidup pun berjalan terus.
Namun, sering juga kejadiannya tidak seperti itu. Ia mungkin saja berusaha keras menghapus jejak, tapi ada kalanya ia terlalu banyak membawa mainan dari gudang, terlalu semangat bermain, sehingga kesetanan, sehingga lupa diri, lalu lupa membereskan mainan dengan tepat. Bila seperti itu, ingatan tentang mimpi jadi tertinggal dengan kuat. Kita tak lagi disuguhi gambar-gambar yang mengambang samar sewaktu bangun, malah sebaliknya. Hanya saja, buatku, resikonya cukup mahal. Kita jadi terbangun tiba-tiba, napas kita terengah-engah, keringat dingin membanjir. Uhh, letihnya bukan main. Dan, lebih buruknya, kita mungkin saja menjerit-jerit tolol, dengan tangan dan kaki yang sibuk menerjang ke segala arah, lalu terkena serangan jantung, lalu mati menyedihkan. Mati di tempat tidur.
Yah, begitulah.
Malam itu, aku pun menjerit-jerit bego. Masih terasa olehku, di mulut, kata-kata terakhir yang tak sempat kuucapkan dalam mimpi, yang rupanya terbawa dan ikut menyebrang ke alam nyata: Itu memang bukan diriku.
Aku tepekur lama. Dada masih memburu-buru, kerongkonganku kerontang. Kulirik jam: pukul dua malam. Aku bangkit berjalan menuju cermin. Tampangku menyedihkan. Sisi-sisi rambutku menempel di pipi yang licin oleh keringat, tak karuan. Aku serasa lebih tua sepuluh tahun.
Kutatap mataku. Benar, tak salah lagi. Bukan mata itu yang tadi kulihat dalam mimpi. Mata dari lelaki yang berdiri disamping Gadis Berjilbab itu tak seperti ini. Mata lelaki itu adalah mata yang sering kuharap ada dimataku. Sepasang mata yang hanya ada pada mereka yang telah tahu apa yang mesti mereka perbuat dengan Hidup.
Gambar dan adegan dalam mimpi itu masih terasa kuat di kepalaku. Aku bisa mengingat detail-detail kecil yang tadi sewaktu mimpi tak sempat kuperhatikan. Lelaki itu, dan gadis yang beberapa waktu lalu kuanggap Gadis Berjilbabku terbingkai dalam rona bahagia yang merah muda, wajah mereka bercahaya. Sepasang malaikat, dengan jubah putihnya, dengan sayap-sayap lembut sewarna beludrunya, berputar agung mengelilingi keduanya, mendoakannya. Tuhan pun turun tangan, pikirku. Aku merosot tak berdaya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat sekarang. Tuhan telah memberikan restunya. Padahal tadi sempat terlintas di benak: akan kubawa kabur saja Gadis Berjilbabku, seperti di cerita-cerita picisan, biar kutembak mereka-mereka yang menghalangi niatku..
Tapi, aku terus saja berdiri di tengah ruangan, tak berbuat apa-apa, di dekat pilar besar yang tak bisa kupeluk. Sendirian. Masih menggumam-gumam: itu bukan… itu bukan…
Aku akhirnya terbangun dengan telunjukku menunjuk-nunjuk tak jelas pada lampu neon yang menempel tinggi di langit-langit kamarku.
Lama sesudahnya, sering aku berpikir tentang mimpi… Tentang mimpi malam itu… Tentang Gadis Berjilbab itu…
Posting Komentar