Setiap warga negara yang kaya dan berkuasa berbeda kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan hanya warga miskin terjajah yang wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Artalyta Suryani menyambut tamu pemerintah di ruang penjara ekslusif ala bintang 5 Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur (10 Jan 2010)

Ayat diatas kayaknya menjadi batu ‘pijakan agama‘ mayoritas penyelenggara negara ini, dari pejabat tinggi hingga pejabat biasa, dari zaman saya pra reformasi hingga saat ini, dari ujung utara Sumatera, hingga Timur Papua. Kekuasaan, harta, dan jabatan menjadi “Tuhan” dalam sistem hukum dan peradilan di negeri, suatu bagian yang penuh dengan intrik, suap, dan lobi.

Jauh hari sebelum pemberitaan sidak yang dilakukan oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu pada 10 Januari 2010 silam [1], kisah praktik KKN dan ekslusivisme para napi di penjara maupun rumah tahanan sudah menjadi bagian dari tradisi pengelolaan PENJARA (diganti nama Lembaga Pemasyarakatan) dan rumah tahanan (rutan). Meski reformasi bergulir beberapa tahun lamanya, namun alur amanat reformasi di bidang hukum dan peradilan terputus. Justru irama praktik mafia hukum dan peradilan terus berdenyut menutup suara nurani para pencari keadilan di negeri ini.

Ayin, Bukanlah Satu-Satunya Orang “Kuat” Indonesia

Praktik bandit hukum dan peradilan bisa dikatakan mengisi sejarah kemerdekaan Indonesia. Para pelakunya adalah para bandit yang melakukan tindak pidana dan para penyelenggaran negara yang berkhianat terhadap negara dan rakyat pada umum serta nurani kebenaran pada khususnya. Kisah Artalyta Suryani alias Ayin yang mendapat fasilitas hotel berbintang di Rutan Pondok Jambu hanyalah sebuah fenomena turun-temurun yang tidak pernah diselesaikan secara benar oleh penyelenggara negara, khususnya pasca reformasi 1998.

Seorang Ayin yang telah terbukti secara hukum merusak sistem hukum dengan menyuap dan mengintervensi kasus hukum Syamsul Nursalim, ternyata mendapat fasilitas super mewah bila dibanding dengan kondisi para tahanan rakyat jelata. Dengan uang Rp 200 juta, Ayin menyuap pihak Rutan Pondok Bambu untuk menyulap ‘ruang intropeksi diri’ (hakikat sejati dari penjara) menjadi ‘rumah pribadi’. Setelah itu, setiap bulan pihak Rutan mendapat setoran Rp 50 juta dari Ayin untuk ‘uang sewa’.Dengan uang Rp 50 juta per bulan tersebut, Ayin mendapat fasilitas serba mewah di dalam selnya, di antaranya AC portable, televisi layar datar, toilet duduk, double springbed, dan terkadang Ayin bisa memanggil dokter spesialis kulit ke selnya [2].

Ayin bukanlah satu-satunya orang ‘kuat’ di Indonesia. Mereka yang memiliki uang dan/atau relasi dengan petinggi negara termasuk dalam kasta ‘Ayin’. Di Rutan yang sama, Lien Marita alias Aling (kasus narkoba) mendapat fasilitas ‘hiburan malam’ berupa ruang karaoke. Yang menakjubkan, ruang karaoke itu berada di area ruang kerja Sarju Wibowo, Kepala Rumah Tahanan Negara Pondok Bambu [3].

Kisah dibalik istana penjara Ayin sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Diawal tahun 2000-an, para koruptor yang ditahan dapat dengan mudah melarikan diri ke luar negeri, menembus Rutan hingga petugas emigrasi di bandara. Hendra Raharja yang lari ke Australia, David Nusa Wijaya, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Djoko S Tjandra, merupakan para bandit yang berhasil kabur atas servis yang diberi oleh pejabat negara yang bermental penghianat.

Kisah lainnya adalah koruptor Bob Hasan dan Rahardi Ramelan. Bob Hasan selama mendekam di Nusa Kambangan mendapat fasilitas mewah, satu tingkat dibawah Tommy Soeharto. Rahardi Ramelan, terpidana kasus korupsi Bulog. langsung mendapat remisi hanya setelah 2 hari masuk ke LP Cipinang. Namun, diantara itu semua, kasus yang paling fenomenal lainnya adalah Tommy Soeharto, mantan narapidana kasus pembunuhan hakim agung M Syafiuddin Kartasasmita yang dibebaskan oleh pemerintah pada Oktober 2006.

Tommy Soeharto, Ekslusif Seorang Napi Pembunuh Hakim Agung

Tommy Soeharto di Lapas

Tommy Soeharto di Lapas

Tidak adanya political will dari pemerintah untuk memberantas bandit hukum dan peradilan tampak jelas ketika kasus pembunuhan hakim agung M Syafiuddin Kartasasmita (MSK) sekaligus kasus korupsi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog atas nama Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto mendapat perlakuan istimewa.

Putra bungsu Presiden Soeharto yang menjadi dalang utama pembunuhan Hakim Agung MSK ini mendapat ‘pengecualian’ hukum yang berlawanan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Perlakuan istimewa ini diperoleh Tommy di era pemerintahan Presiden Megawati SP di penjara, serta Presiden SBY dengan membebaskan seorang napi pembunuh setelah dikurung 1/3 masa tahanannya [4].

Selama mendekam di penjara Nusa Kambangan, Tommy Soeharto menempati kamar berukuran 5 x 6 meter yang sangat istimewa dibanding tahanan lainnya. Kamar penjara Tommy dilengkapi TV 21 inci + Indovision, kasur busa empuk, kamar mandi dan kakus sendiri. Meja kerja, kursi, dan karpet biru muda menutupi seluruh lantai. Boleh dibilang sel tahanan itu telah disulap menjadi mirip sebuah kamar hotel.

Disamping fasilitas kamar yang ekstra, Tommy diperbolehkan mendapat pelayanan ’seorang pangeran’ olenh staf dan karyawannya. Para staf dan karyawan ini bertugas melayani segala kebutuhan hidup “sang Pangeran Cendana”, dari makanan, pakaian, menerima tamu, hingga ke urusan perusahaan. Bisnis Tommy memang jalan terus. Di dalam penjara itupula, Tommy memiliki 2 kapal motor dan 2 unit mobil. Mobil L-300 biru tua bernomor polisi AB-9744-CA untuk di dalam lingkungan LP Nusakambangan, sedangkan Kijang kapsul berwarna putih dipergunakan di luar Nusakambangan.

Perlakuan istimewa diperoleh Tommy selama pemerintahan Presiden Megawati dan SBY, dari tahun 2002 hingga 2006. Dan tepat pada 30 Oktober 2006, dibawah pemerintahan SBY-JK, Tommy Soeharto dilepas bebas dari tindak pidana pembunuhan yang dilakukannya pada tahun 2001. Gelagat Tommy akan dibebaskan pada masa Presiden SBY sudah mulai terbaca ketika 6 Juni 2005, MA yang baru memberikan ‘discount 33%” hukuman pada Tommy dari 15 tahun penjara menjadi 10 tahun. Sungguh aneh, seorang pembunuh berencana terhadap seorang petingg negeri (hakim Agung MA) hanya dijebloskan 4 tahun penjara karena ia adalah anak penguasa nan kaya. Sementara, para pelaku pembunuh dari kalangan rakyat kecil, harus mendapat hukuman yang setegas dan seberat-beratnya [5].

Jangan Bermain Sandiwara dalam Pemberantasan Mafia Hukum

Jauh sebelum pemberitaan fasilitas mewah Artalyta Suryani pasca sidak yang dilakukan oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (yang dibentuk Presiden SBY) di Rutan Pondok Bambu pada 10 Januari 2010, beberapa media massa seperti Kompas dan Media Indonesia telah memberitakan kritik tajam kepada diskriminasi tahanan di LP Cipinang. Bahkan harian Tempo [5] telah menulis pada 13 Juli 2003 ketika melihat perlakuan hukum yang berbeda untuk Tommy Soeharto di LP Nusakambangan.

Pada 20 September 2009, Kompas merilis berita diskriminasi yang diberikan oleh pihak lapas Klas I Cipinang, Jakarta, antara tahanan kasus umum dan kasus korupsi. Untuk napi kasus korupsi disediakan tempat khusus untuk kunjungan, yaitu di ruang administrasi keamanan dan ketertiban. Sementara untuk kasus umum, napi dengan keluarga diwajibkan bertemu di ruang kunjungan yang tersedia [6].

Salah satu napi yang tidak ingin diketahui identitasnya mengatakan, kondisi ruang pertemuan untuk kasus korupsi berbeda jauh dengan kasus umum. Ia yang sudah beberapa kali masuk ke dalam ruang administasi mengatakan, di ruang tersebut dilengkapi AC serta beberapa sofa dan bangku empuk. Mereka bebas berkunjung tanpa batasan waktu. “Napi KPK (korupsi) beda perlakuannya di sini,” kata dia. Sementara itu, ruang kunjungan napi umum hanya diembusi angin dari beberapa kipas yang terpasang di langit-langit. Bangku yang disediakan hanya bangku plastik serta jam kunjung dibatasi hanya 30 menit.

Lebih lanjut ia menjelaskan, perlakuan beda bukan hanya saat kunjungan keluarga. Di kamar para tahanan kasus korupsi dilengkapi AC, kulkas, spring bed, televisi, dan fasilitas lain. Para terdakwa dan/atau terpidana koruptor ini pun bebas membawa laptop dan telepon seluler. Perlakuan yang berbeda terhadap tahanan non-korupsi atau masyarakat kelas bawah [6].

Sangatlah aneh apabila berbagai media massa yang telah berkali-kali memberitakan ketimpangan keadilan di Rutan dan LP, sementara pemerintah tidak memiliki etikad baik untuk melakukan pembenahan. Hal ini tidak tentu bertolak belakang dengan janji-janji yang pernah dikeluarkan dari mulut Pak SBY ketika mencalonkan Presiden pada tahun 2004 dan 2009 silam kemarin. Ketika mencalonkan presiden pada 2004, SBY berkoar-koar akan menegakkan hukum secara adil untuk masyarakat. Tapi, Presiden SBY tampak membisu atas perlakuan istimewa yang diberikan kepada Tommy Soeharto selama di penjara. Presiden SBY tampak membisu ketika Kompas memberitakan ruang tahanan Aulia Pohan, besannya, yang menjadi tahanan KPK yang mendapat fasilitas mewah pada September 2009 silam.

Apakah selama Aulia Pohan ditahan, tidak ada satupun keluarga SBY yang membesuk Aulia Pohan dan menyampaikan kondisi/fasilitas yang diterima para terpidana korupsi ini? Tidak pernahkah mereka membandingkan dengan kondisi para napi dari masyarakat kelas bawah? Lalu, dimanakah letak istimewanya Ayin, jika sejak lama penyelenggara telah mengetahui bahwa para koruptor dan napi kelas kakap mendapat fasilitas yang sama istimewanya?

Semoga niat pemberantasan bandit hukum dan peradilan tidak menjadi sandiwara belaka. Dan jangan lupa kasus korupsi dana non-budgeter 2004, jika ingin benar-benar memberantas mafia alias bandit hukum dan peradilan.

[1]Okezone, 10 Januari 2010
[2]Kompas, 12 Januari 2010
[3]Kompas, 12 Januari 2010
[4]Tommy Soeharto: Golkar, Koruptor & Pembunuh Hakim Syafiuddin Kartasasmita, 20 Agustus 2009
[5]Tempo : Yang Istimewa di Alcatraz Kita, 14 Juli 2003
[6]Kompas : Wah! Di LP Cipinang, Koruptor Dapat Fasilitas VIP, 20 September 2009

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini

Other Article



visit the following website islamic.net Make Smart Berita Bola