Makanan laut yang satu ini bisa dibilang punya penggemar khusus. Namanya juhi. Juhi adalah sejenis cumi-cumi yang ukurannya besar. Biasanya, orang China dan Jepang mengonsumsi juhi yang dipanggang dan rasanya tawar.


Juhi kering itu biasa dijadikan camilan. Namun, berkat kreativitas Kwe Tjang, juhi panggang itu menjadi punya nilai tambah. Di tahun 1948, Kwe Tjang mencampur juhi panggang dengan saus bumbu kacang.

Juhi istimewa Kwe Tjang adalah taburan di atas potongan timun, potongan kentang rebus yang lalu digoreng, dan emping. Sebelum juhi ditaburkan, racikan itu diguyur bumbu kacang ditambah sambal cabai cair dan kucuran jeruk limo. Setelah semuanya lengkap di piring, Kwe Tjang menaburinya dengan seabrek juhi kering yang disuwir. Makanan itu kemudian disebut rujak juhi.

Perpaduan bumbu kacang dan juhi menghasilkan berbagai rasa asin, gurih, pedas, segar, tanpa rasa dan bau amis. Harga seporsi rujak juhi ini memang mahal, Rp 18.000, tapi sepadan dengan suwiran juhi yang besar-besar di permukaan piring.

Sejak 1948 hingga kini, Kwe Tjang setia berjualan dengan gerobak yang didorongnya dari seputaran Jembatan Dua hingga ke Jalan Toko Tiga Sebrang di Pancoran Glodok.

”Dari saya masih umur 17 tahun, saya cari-cari aja jual makanan apa. Saya liat orang Jepang tahun 1940-an suka makan juhi panggang dipakein cuka. Terus, saya nyoba ngolah lagi, saya coba pakein bumbu kacang, tambah kentang, timun. Kata orang enak. Ya, saya lanjutin jualan ini,” begitu Kwe Tjang yang kini berusia 77 tahun berkisah.

Sepanjang 60 tahun perjalanan hidup kakek 24 cucu dan satu buyut ini habis di Jalan Toko Tiga Sebrang. Sepanjang masa itu dengan telaten dia menjual rujak juhi. ”Pokoknya saya jualan terus. Sampai saya tua,” tandas pria yang masih merasa muda itu.

Tahan semalam
Gerobak tua bertuliskan Rujak Juhi Asli Kwe Tjang itu berjejer di pinggir Kali Pancoran persis di sebelah gerobak pedagang martabak manis dan asin. Meski sangat sederhana, jangan heran jika melihat antrean pembeli di sini. Biasanya di sore hari kala warga pulang kerja, antrean semakin mengular. Mereka biasa menyempatkan membeli rujak juhi. Kebanyakan orang membeli rujak juhi untuk dimakan di rumah. Maka itu Kwe Tjang sudah menyiapkan bumbu kacang dan sambal cabai cair di dalam plastik-plastik kecil.

”Kalau dimakan di rumah, enggak enak kalau bumbunya dicampur, harus dipisah. Tapi jangan besok makannya. Ini hanya tahan sampai tengah malam. Kalau juhinya tahan lama, tapi bumbu kacangnya yang enggak tahan,” ujar Kwe Tjang.

Lantas ada yang bertanya, apa bedanya dengan rujak shanghai? Tangkas dia menjawab, ”Rujak shanghai kan pake kangkung. Juhinya juga cuma direbus.” Ayah tujuh putra putri ini menunjuk warung Rujak Shanghai Encim di Pancoran Glodok yang seumuran dengan usaha Kwe Tjang.

Di warung Rujak Shangai Encim tersedia juga Rujak Juhi Pancoran. Namun, rujak juhi yang baru berusia sekitar 30 tahun ini berbeda racikannya dengan milik Kwe Tjang. Di sini, rujak juhi berisi selada, tahu goreng, timun, kentang rebus yang kemudian digoreng, mi, juhi, dan emping ditambah guyuran bumbu kacang. Seporsi rujak juhi di sini Rp 15.000.

Tentu saja berbeda harga akan berdampak pada rasa dan banyak-sedikitnya isi juhi. Dengan harga lebih murah, pembeli mendapat suwiran rujak juhi yang lebih tipis dan sedikit dibandingkan pada rujak juhi milik Kwe Tjang.

Namun, selera tak bisa diperdebatkan. Silakan saja pilih. Rujak Juhi Pancoran buka pukul 09.00- 17.00, sedangkan Kwe Tjang berjualan pukul 15.00-20.00.

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini

Other Article



visit the following website islamic.net Make Smart Berita Bola